Panduan Budidaya Padi dengan Sistem SRI


I. PENDAHULUAN


       Target produksi padi tahun 2016 adalah 74,5 juta ton GKG. Upaya untuk mencapai target tersebut, pemerintah mencanangkan Gerakan Penerapan Pengelolaan Tanaman Terpadu (GP-PTT) dan intensifikasi padi lainnya secara nasional. Salah satu di antaranya adalah pengembangan System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan salah satu pendekatan dalam praktek budidaya padi yang menekankan pada manajemen pengelolaan tanah, tanaman dan air melalui pemberdayaan kelompok dan kearifan lokal yang berbasis pada kegiatan ramah lingkungan.

       SRI adalah salah satu inovasi metode budidaya padi yang dikembangkan sejak 1980-an oleh pastor sekaligus agrikulturis Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang ditugaskan di Madagaskar sejak 1961. Awalnya SRI adalah singkatan dari "systeme de riziculture intensive" dan pertama kali muncul di Jurnal Tropicultura tahun 1993. Saat itu, SRI hanya dikenal setempat dan penyebarannya terbatas. Sejak akhir 1990-an, SRI mulai mendunia sebagai hasil usaha tidak pantang menyerah Prof. Norman Uphoff, mantan direktur Cornell International Institute for Food, Agriculture and Development (CIIFAD). Tahun 1999, untuk pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia (Stoop et al.,2002).

       Tujuan Pengembangan SRI ini adalah: (a) mengefisiensikan penggunaan saprodi dan pemanfaatan air; (b) memperbaiki kualitas/ kesuburan lahan sawah melalui pemberian asupan bahan organik; (c) mengembangkan usahatani padi yang ramah lingkungan. (d) meningkatkan pengetahuan dan keterampilan petani tentang usahatani padi SRI dan (e) meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

    Sasaran kegiatan pengembangan SRI adalah petani padi yang tergabung dalam kelompok tani/P3A/Gapoktan pada lahan sawah beririgasi (teknis, setengah teknis dan sederhana) dan lahan tadah hujan yang ketersediaan airnya terjamin. Pada tahun 2014 kegiatan pengembangan SRI telah dilakukan pada areal 180.000 Ha yang tersebar di 29 propinsi, 243 kabupaten/kota yang dibiayai oleh Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian (Ditjen PSP 2014).

       Latar belakang penyusunan Panduan Teknologi Budidaya Padi SRI padi adalah hasil penelitian Stoop et al. (2002), Dobbermann (2004), Sheehy et al. (2004) yang melaporkan bahwa teknologi budidaya padi SRI ternyata sangat beragam di lapangan dari segi prosedur tata urut pekerjaannya. Oleh karena itu, Panduan Teknologi SRI perlu disusun mengikuti tahapan tata urut kerja, yang dapat berlaku secara umum.

       Panduan Teknologi SRI dimaksudkan untuk menghindarkan tindakan operasional yang tidak perlu dilakukan, atau dilakukan secara keliru karena hanya berdasarkan kebiasaan, misalkan: menggaru/ meratakan tanah dengan genangan air yang berlebih, sehingga lumpur terbuang ke luar petakan. Pada tahap awal, tidak semua komponen teknologi SRI dapat diimplementasikan karena tidak mengikuti teknis presisi dan preskripsi. Dengan adanya panduan budidaya padi SRI semua komponen teknologi Budidaya Padi SRI dapat dilaksanakan.


II.TEKNOLOGI SRI


Komponen budidaya SRI adalah seluruh kegiatan dan tindakan dalam budidaya SRI yang wajib dilakukan. Tindakan tersebut dapat dibagi menjadi beberapa kegiatan utama sebagai berikut:

2.1. Varietas, Benih, dan Persemaian
2.1.1. Varietas
  • Varietas unggul atau lokal, adaptif lingkungan spesifik, tahan Organisme Penganggu Tanaman (OPT) utama yang terdapat di lokasi, sesuai anjuran (Lampiran 1).
  • Umur panen sesuai dengan pola tanam atau ketersediaan air.
  • Disarankan dilakukan pergiliran varietas.

2.1.2. Benih
  • Benih bermutu/bersertifikat.
  • Benih memiliki berat jenis tinggi, mempunyai mutu fisiologis (daya berkecambah dan vigor) tinggi, mampu memberikan pertumbuhan cepat dan seragam.
  • Benih murni, bernas, bersih, dan sehat. d. Dormansi benih telah terlewati.
Cara pemilihan benih bernas dengan menggunakan larutan garam
  1. Benih dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air garam 5%, volume air 2 kali volume benih, kemudian diaduk.
  2. Benih yang terapung, dipisahkan dengan benih yang teng- gelam.
  3. Benih yang tenggelam berarti bernas dan baik untuk persemaian
  4. Sebelum disemai, benih direndam dalam air tawar selama 24 jam dan diperam satu malam.

2.1.3. Pesemaian
  1. Lahan untuk pesemaian aman dari gangguan binatang, mudah diairi dan tidak dekat lampu untuk menghindari serangan hama.
  2. Media tumbuh pesemaian berupa campuran tanah dengan kompos jerami atau pupuk kandang dan abu dengan perbandingan tanah : kompos : abu 7 : 2 : 1. Kebutuhan benih 10 kg per ha.
  3. Pesemaian SRI dilakukan dengan cara kering (tidak digenang) dan dilakukan penyiraman setiap hari. Pesemaian bisa dilakukan di lahan sawah, lahan kering atau pekarangan dengan dilapisi plastik atau menggunakan nampan.

Gambar 1.Pesemaian (a) di lahan sawah (b) di nampan (Dok.: Wardana, 2009)

4. Saat benih berkecambah, ditambahkan air.
5. Pesemaian dipantau setiap 2-3 hari sekali untuk memonitor hama wereng, penggerek batang atau hama lain.
6. Apabila terpantau hama di persemaian, dikendalikan menggunakan insektisida nabati-hayati.
7. Bibit dalam pesemaian siap ditanam pada umur 5-7 HSS (hari setelah semai).


2.2. Penyiapan Lahan dan Tanam
2.2.1. Penyiapan Lahan
  • Pupuk kompos atau pupuk kandang sebanyak 12 ton/ha ditaburkan merata sebelum bajak singkal atau garu (Gambar2).
  • Pengolahan tanah ditujukan agar tanah melumpur dengan baik, kedalaman lumpur minimal 20 cm, tanah bebas gulma, pengairan lancar, struktur tanah baik, dan ketersediaan hara bagi tanaman meningkat.

Gambar 2. Aplikasi pupuk pupuk kandang sebelum pengolahan tanah (Dok.: Wardana, 2009)

  •  Empat tahapan persiapan lahan, adalah sebagai berikut:
- Lahan digenangi air setinggi 2-5 cm di atas permukaan selama 2-5 hari sebelum pembajakan.
- Pembajakan tanah ke-1 sedalam 15-20 cm menggunakan bajak traktor singkal, lalu tanah diistirahatkan (inkubasi) selama 3-4 hari (Gambar 3).

Gambar 3.Pembajakan dengan traktor (Dok.: Susilawati, 2013)

- Perbaikan pematang dan pemopokan dilakukan agar tidak terjadi rembesan air. Pojok petakan dan sekitar pematang yang tidak terbajak, dicangkul sedalam 20 cm. Lahan sawah digenangi air selama 2-3 hari sedalam 2-5 cm.
- Pembajakan tanah ke-2 dilakukan untuk pelumpuran tanah. Permukaan tanah diratakan menggunakan garu atau papan ditarik tangan. Sisa gulma dibuang atau disingkirkan. Lahan yang telah diolah diistirahatkan 1-2 hari, supaya lumpur stabil.

2.2.2.Tanam

Kegiatan tanam meliputi penyediaan bibit, pencaplakan dan tanam bibit. Cara tanam dan jarak tanam SRI adalah jarak tanam longgar/lebar dengan alternatif antara lain: 25 cm x
25 cm atau 30 cm x 30 cm.

- Penyediaan Bibit
• Bibit dicabut saat berumur 5-7 HSS
• Mencabut bibit dengan akar penuh dan batang tidak boleh patah.
• Tidak dianjurkan menanam bibit yang berasal dari pen- jual bibit siap tanam apalagi tidak jelas varietasnya.

- Pencaplakan
• Pencaplakan untuk membuat “tanda” jarak tanam secara
seragam dan teratur. Ukuran caplak menentukan jarak tanam dan populasi rumpun tanaman per satuan luas (Gambar 4).

Gambar 4.Pembuatan tanda jarak tanam (pencaplakan) (Dok.: Susilawati, 2014)

• Jumlah rumpun per meter pada berbagai jarak tanam
yang dapat dipilih adalah:
  16 rumpun/m2 = tegel jarak tanam 25 cm x 25 cm
  11 rumpun/m2 = tegel jarak tanam 30 cm x 30 cm
  21 rumpun/m2 = jajar legowo 2:1 jarak tanam (25 cm x 12,5 cm) x 50 cm.
• Pemilihan jarak tanam tergantung kesuburan tanah dan
varietas.

- Tanam
• Saat tanam kondisi air macak-macak
• Penanaman satu bibit per lubang (tanam tunggal, dangkal
dan posisi akar membentuk huruf L) (Gambar 5).

Gambar 5.Penanaman satu bibit per lubang (Dok.: Wardana, 2009)


2.3. Pemeliharaan
2.3.1.Penyulaman

• Penyulaman tanaman dilakukan bila ada tanaman mati. Bibit yang digunakan untuk menyulam adalah bibit yang diambil dari sisa bibit pesemaian yang ditanam di pinggir pematang.
• Penyulaman dilakukan sedini mungkin pada 5-7 HST agar
pertumbuhan tanaman seragam.

2.3.2. Pengairan

• Pintu masuk air atau inlet dibuat pada pematang bagian depan dekat saluran tersier dan pada ujung petakan sawah dibuat “celah pintu” atau outlet pembuangan kelebihan air.
• Tinggi celah pintu pembuangan 5 cm dari permukaan tanah/lumpur, dapat bervariasi tergantung fase pertumbuhan tanaman padi.
• Sepuluh hari pertama setelah tanam, dilakukan penggenangan sedalam 2-5 cm, selanjutnya dibuat macak- macak, seterusnya
secara intermitten, yaitu kondisi basah-kering dengan interval 7-10 hari selama fase vegetatif.
• Selanjutnya pada fase generatif, lahan digenangi lagi hingga
ketinggian 2-5 cm di atas permukaan.
• Lahan dikeringkan pada 10-14 hari sebelum panen.

2.3.3. Penyiangan

• Penyiangan dilakukan sebanyak empat kali dengan
selang waktu 10 hari. Setiap selesai penyiangan dilakukan penyemprotan suplement Pupuk Organik Cair (POC)/ Mikro Organisme Lokal (MOL).
• Penyiangan gulma secara manual dan mekanis menggunakan landak/gasrok atau “hand rotary”. Penyiangan dilakukan pada kondisi air macak-macak (Gambar 6).

Gambar 6.Penyiangan gulma menggunakan gasrok (Dok.: Susilawati, 2014, Wardana, 2009)

2.3.4. Pemupukan

• Pupuk kompos atau bahan organik yang sudah lapuk diberikan pada saat pengolahan tanah atau menjelang tanam.
• MOL yang terbuat dari bahan-bahan alami disemprotkan secara periodik 10 hari sekali dimulai dari 10 HST dengan konsentrasi 1-2 l MOL/14 l air. MOL ditujukan sebagai tambahan nutrisi bagi tumbuhan. MOL dapat dibuat antara lain dari bahan limbah sayur-sayuran, buah-buahan, keong mas, buah maja, bonggol pisang, nasi, dan rebung bambu. Sebagai bahan campurannya ditambahkan air bekas cucian beras, gula/molase/air kelapa dan urin sapi/kelinci yang difermentasi selama 10 – 15 hari.
• Pada tanah yang kurang subur, dapat diberikan tambahan pupuk kimia sesuai kebutuhan tanaman (Sheehy et al., 2004).

Gambar 7.Contoh MOL (gambar kiri kekanan) dengan bahan dasar rebung (kiri) dan buah maja (kanan) (Dok.: Susilawati, 2013)

2.3.5. Pengendalian Hama dan Penyakit

• Tindakan pencegahan terhadap hama dan penyakit dilakukan sesuai kaidah Pengelolaan Hama Terpadu (PHT), melalui pendayagunaan fungsi musuh alami dan pemantauan berkala.
• Pengendalian hama dimulai saat pengolahan tanah, pesemaian, hingga fase generatif tanaman, berdasarkan pada hasil pemantauan menggunakan pestisida nabati- hayati.
• Hama dan penyakit dikendalikan dengan menggunakan varietas tahan, menanam secara serentak serta mempergunakan pestisida secara selektif. Penggunaan pestisida kimia hanya dilakukan sebagai langkah terakhir, bila ternyata serangan hama dan penyakit belum dapat diatasi.

2.4. Panen dan Penanganan Pasca Panen
2.4.1. Panen

Panen tepat waktu dengan benar menjamin perolehan hasil panen secara kuantitas maupun kualitas, yang akan menentukan tingkat pendapatan usahatani padi.
• Panen dilakukan pada saat matang fisiologis yaitu bilamana
95% bulir menguning.
• Padi yang sudah dipotong segera dirontok dapat menggunakan alat perontok thresher menggunakan alas terpal sebagai penampung gabah, atau combine harvester.
• Gabah yang telah dirontok dibersihkan dari kotoran dan jerami, menggunakan blower atau penampi jika menggunakan thresher.
• Gabah dijemur hingga mencapai kadar air sekitar 16%
(gabah kering simpan/GKS).

2.4.2. Penanganan pasca panen

• Gabah dikeringkan lagi untuk mencapai tingkat kadar air
gabah kering giling (GKG) (14%).
• Gabah dihamparkan merata dengan ketebalan sekitar 5 cm pada lantai jemur atau alas terpal/ plastik tebal, dan gabah dibalik setiap 2 jam.
• Gabah kering dimasukkan ke dalam karung plastik
dan diangkut ke gudang untuk disimpan atau ke pabrik penggilingan.



III. PENUTUP


SRI merupakan teknologi untuk merespon kondisi lingkungan yang memiliki keterbatasan air, benih, juga terjadinya penurunan kesuburan lahan pertanian akibat penggunaan bahan kimia yang terus meningkat. Kondisi biofisik lahan dan sosial ekonomi masyarakat yang bervariasi menyebabkan metode SRI memiliki hasil yang beragam. Komponen utama SRI meliputi penggunaan bibit muda, jarak tanam lebar, pengendalian gulma secara mekanis, pengairan berselang, dan memaksimalkan penggunaan bahan organik.

Pengembangan SRI yang dilakukan melalui pendekatan ekologi tanah, pendampingan/pengawalan dan pelatihan dapat mengubah perilaku petani dalam berusaha padi agar lebih efisien dan ramah lingkungan. Oleh karena itu sosialisasi, bimbingan dan pembinaan perlu dilakukan secara terus-menerus oleh petugas lapangan.

Penyebaran SRI akan dapat dirasakan manfaatnya oleh petani karena dapat meningkatkan hasil panen dan pendapatan petani. Manfaat lain dari pengembangan SRI bagi petani dan masyarakat adalah terciptanya lingkungan yang sehat terutama tanah, air, dan produk pangan yang yang dikonsumsi.

IV. PUSTAKA

Balitbangtan. 2014. Prosedur Operasional Standar (POS) Budidaya Padi Sawah. Kementerian Pertanian. Jakarta: 18 hal.

BB Padi. 2014. Deskripsi Varietas. BB Padi. Sukamandi Ditjen PSP. 2014. Pedoman Teknis Pengembangan SRI (System of Rice Intensification). Kementerian Pertanian. Jakarta: 26 hal.

Dobermann A. 2004. A critical assessment of the system of rice intensification (SRI). Agricultural Systems 79: 261–281.

Sheehy J.E., S. Peng, A. Dobermann, P. L. Mitchell, A. Ferrer, J. Yang, Y. Zou , X. Zhong, and J. Huange. 2004. Fantastic yields in the system of rice intensification: fact or fallacy?. Field Crops Research 88: 1–8.

Stoop W.A., N. Uphoff, A. Kassam . 2002. A review of agricultural research issues raised by the system of rice intensification (SRI) from Madagascar: opportunities for improving farming systems for resource-poor farmers. Agricultural Systems 71:249–274

Berbagi Informasi Menarik

Komentar Anda adalah tanggapan pribadi, kami berhak menghapus komentar yang mengandung kata-kata pelecehan, intimidasi, dan SARA.
EmoticonEmoticon